Senin, 07 Februari 2011

Berhenti Menertawakan Bangsa Sendiri

Oleh: Pradana Boy ZTF

Ph.D Research Scholar National University of Singapore (NUS).

TAKSI yang mengantar saya dari Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura itu dikendarai oleh seorang pria berwajah Melayu. Ia lalu menyapa saya, berbasa-basi dan memperkenalkan diri sebagai keturunan Jawa. Orangtuanya berasal dari Jawa Tengah, tepatnya Kendal. Tetapi ia sendiri lahir dan besar di Singapura. Seperti kebanyakan sopir taksi di Indonesia yang sangat well-informed tentang dunia politik; sopir ini juga fasih berbicara tentang hal yang sama. Tetapi yang benar-benar membuat saya terkejut adalah pengetahuannya tentang fakta-fakta politik di Indonesia begitu luas. Hampir tidak ada seluk beluk politik Indonesia yang ia tidak ketahui.

Lebih terkejut lagi, karena yang dia dia ketahui justru fakta-fakta buruk tentang politik dan hukum Indonesia. Ia dengan fasih berbicara tentang kebobrokan hukum di Indonesia, dari soal sindikat narkoba, penanganan masalah TKI dan TKW, sepak terjang Gayus Tambunan, pertarungan antarpelajar dan mahasiswa, penyuapan yang dilakukan oleh orang-orang yang bermasalah hukum kepada para aparat penegak hukum di Indonesia, hingga kecenderungan akan lahirnya politik dinasti di Indonesia. Tak berhenti di situ, iapun berbicara tentang ironi bangsa Indonesia. Sebuah bangsa kaya yang tak kekurangan apa-apa, tetapi rakyatnya miskin. Di sela-sela itu pula dia mengungkapkan keprihatiannya. “Saya turut sedih dengan keadaan seperti ini. Bagaimanapun ada darah Indonesia mengalir dalam diri saya,” katanya.

Percakapan dengan sopir taksi itu telah menggoreskan kesan yang sangat mendalam dalam diri saya. Jika kita renungkan lebih jauh dan serius, maka dengan mudah kita bisa mengambil kesimpulan sementara atau sekadar berspekulasi bahwa situasi tak menentu negara kita itu ternyata telah menjadi bagian dari pengetahuan umum masyarakat negara lain. Sementara di sisi lain, kita juga faham bahwa berita-berita tak sedap sering dengan mudah menyebar ketimbang berita-berita positif. Kita tidak bisa menampik bahwa begitulah situasi kebangsaan kita yang sedang berlangsung saat ini. Sayangnya, dalam situasi yang seperti itu tak jarang kita justru menikmatinya. Bukan dalam arti bahwa kita menikmati carut marut situasi bangsa ini, melainkan kita menikmatinya dalam bentuk menertawakan situasi bangsa kita itu.

Inilah salah satu problem yang tak kalah seriusnya bagi sebagian besar bangsa Indonesia. Dalam percaturan kehidupan berbangsa di Indonesia, menjadi hal yang lumrah untuk menertawakan kehidupan bangsa kita sendiri. Berbagai anekdot tentang buruknya bangsa kita juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Misalnya, dalam berbagai forum kita sering mendengar para pembicara yang warga negara Indonesia, dengan entengnya mengeluarkan pernyataan-pernyataan seperti: “Orang Indonesia adalah orang yang paling pintar, karena sangat ahli membuat hal-hal yang mudah menjadi sulit,” atau “jika masih bisa dipersulit, kenapa dipermudah.” Dua pernyataan yang merujuk kepada berbelit-belitnya birokrasi di Indonesia. Atau malah sebaliknya, “Tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan di Indonesia. Sesulit dan seserius apapun.” Juga, “ada fulus urusan jadi mulus.”

Tanpa kita sadari, pernyataan-pernyataan yang begitu akrab dalam kamus kehidupan berbangsa kita itu sesungguhnya merefleksikan betapa senangnya kita ini menertawakan bangsa sendiri. Sebuah sikap yang tak seharusnya kita lakukan. Namun demikian, sikap seperti itu tak selamanya juga salah. Karena, sikap itu bisa juga dibaca sebagai bentuk ekspresi eskapisme (pelarian diri) dari keputusasaan multidimensional yang melanda seluruh elemen bangsa ini. Menertawakan bangsa sendiri terjadi karena kita putus asa. Sebagian masyarakat merasakan dirinya ibarat anak yatim yang tak tahu harus mengadu kepada siapa untuk semua persoalan yang mereka hadapi. Karena para pemimpin tak lagi bisa menjadi orangtua bagi rakyatnya. Maka menertawakan bangsa sendiri merupakan bentuk protes terselubung, karena sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain tertawa, menertawakan diri sendiri.

Selain menertawakan bangsa sendiri, sikap lain yang sering muncul adalah dengan keengganan untuk kembali ke Indonesia bagi mereka yang studi, berkarir di luar negeri atau tinggal di luar negeri dengan tujuan-tujuan yang lain. Kepada kelompok ini, seringkali dilekatkan problem menipisnya rasa nasionalisme, sehingga lebih memilih membangun negeri orang daripada negeri sendiri. Tetapi sekali lagi, kesalahan tidak bisa serta merta dilekatkan kepada kelompok masyarakat ini, karena pilihan-pilihan itu adalah pilihan rasional yang tentu saja didasarkan pada pertimbangan yang sangat rumit.

Bentuk kekecewaan terhadap keadaan-keadaan ini kemudian memuncak dalam bentuk-bentuk pernyataan seperti “malu menjadi orang Indonesia” dan sejenisnya. Pernyataan seperti ini memiliki dua makna. Ia bermakna negatif manakala itu dimaksudkan sebagai bentuk ejekan. Sebaliknya, itu bisa bermakna positif jika ditempatkan dalam konteks keprihatinan.

Secara pribadi, saya tidak pernah malu menjadi orang Indonesia, sebagaimana pernah disinggung Taufik Abdullah dalam sebuah puisinya. Sayapun tak pernah menyesal menjadi warga negara Indonesia. Tetapi seperti sopir taksi yang berkewarganegaraan Singapura dan berdarah Indonesia tadi, sayapun merasa sedih mengapa semua ironi ini terjadi dalam diri bangsa kita? Pada akhirnya, tak berguna bagi kita untuk menertawakan semua kondisi bangsa ini, tidak bermanfaat pula bersedih, meratap dan menyesal. Karena semua itu tidak akan membawa perubahan sama sekali. Maka kita berhenti menertawakan bangsa sendiri, karena semua di antara kita, dengan kemampuan yang ada pada diri kita, sekecil apapun akan punya sumbangan penting untuk bangkit dari semua situasi ini. Dan berhenti menertawakan bangsa sendiri adalah sebuah langkah awal dan sederhana yang harus kita lakukan. Tak usah menunggu orang lain memulainya. Mari kita mulai dari diri sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar