Kamis, 24 Maret 2011

Pergerakan Perempuan Dalam Islam (Wardana Edisi 2)

Dalam Al-qur'an terdapat beberapa ayat yang mengakomodir aspirasi perempuan yang turun segera setelah ada suara dari perempuan. Sebagai contoh, ayat 35 Surat Al-Ahzab yang secara eksplisit mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan di mata Tuhan, turun setelah Ummu Salamah r.a mempertanyakan pada Nabi mengapa kaum perempuan dalam Al-qur'an tidak diungkap sebagaimana kaum laki-laki. Tidak lama kemudian, ketika Nabi berkhotbah diatas mimbar, Nabi mengatakan bahwa Allah SWT telah menurunkan ayat "Orang-orang Islam laki-laki dan orang-orang Islam perempuan, orang-orang beriman laki-laki dan orang-orang beriman perempuan, dan seterusnya. Kepada mereka Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar."

Demikian disebutkan dalam kitab-kitab tafsir dari hadist riwayat Imam Nasa'i dan Ibnu Jarir Abdul Wahid bin Ziyad. Al-Qur'an juga merekam peristiwa pertikaian pasangan suami-istri Khaulha binti Malik bin Tsa'labah dengan suaminya Aus bin Shamit. Khaulah mengadu kepada Nabi bahwa suaminya telah men-zihar-nya (menyerupakan fisik istri dengan ibunya sehingga si istri menjadi haram digauli oleh suaminya). Setelah zihar itu, sang suami terus memaksanya memenuhi kebutuhan biologisnya. Namun Khaulah selalu bersikeras menolak dengan berbagai cara, sampai suaminya menjauh dari Khaulah. Mendengar pengakuan itu, Nabi terdiam. Beberapa saat kemudian, beliau berkata kepada Khaulah yang menolak melayani suaminya, sekaligus memberikan penjelasan mengenai hukum suaminya yang men-zihar istrinya. Pembelaan Al-Qur'an kepada perempuan juga spontan turun ketika Abdullah bin Ubayy bin Salul, gembong kaum munafik, mencoba melacurkan Mu'adzah yang hamil. Dan saat melahirkan, anak yang dilahirkan akan ditebus dengan harga mahal oleh Ubbay. Mu'adzah menolak hal tersebut. Nabi memberikan sebuah pembelaan yang sangat jelas terhadap perempuan seperti Mu'adzah. Bagi perempuan yang dipaksa untuk dilacurkan, Allah secara tegas menyatakan bahwa Dia Maha Pengampun dan Pengasih.

Tiga kasus di atas dengan jelas menunjukkan bahwa keberanian perempuan menyuarakan haknya telah ada di zaman Nabi. Ummu Salamah memperjuangkan hak istri, sementara Mu'adzah memperjuangkan hak reproduksinya dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Sekalipun dalam tiga kasus ini mereka kebetulan berbicara sendirian, sesungguhnya mereka menyuarakan suara perempuan secara umum. Yang perlu kita garis bawahi di sini, keberanian itu muncul karena iklim sosial yang dibentuk Nabi Saw sangat kondusif terhadap problema perempuan, termasuk hal paling pribadi sekalipun.

Namun, hubungan kemitraan antara laki-laki dan perempuan ini menjadi surut pasca wafatnya Nabi. Ditambah lagi dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah dalam Perang Unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa yang kontroversial di kalangan pemikir Islam klasik, dikatakan sebagai penyebab terjadinya perpecahan dalam Islam. Stigma ini semakin kuat di kalangan ulama, sehingga tragedi itu dijadikan justifikasi perempuan Islam untuk tidak berkiprah dalam dunia politik.

Kulminasi dari pembatasan ruang publik bagi perempuan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Islamiyah dan Abbasiyah. Pada masa kepemimpinan Khalifah al-Walid (743-744 M), pada awalnya perempuan ditempatkan di harem-harem dan tidak punya andil dalam keterlibatan publik. Sistem harem ini semakin kukuh tak tertandingi pada akhir kekhalifahan Abbasiyah, yaitu pertengahan abad ke-13 M.

Pada periode seperti inilah, lahir tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya, sehingga tidak bisa dipungkiri akan adanya hadist dan tafsir misoginis yang melecehkan perempuan.

Sesungguhnya, Islam sama sekali tidak membedakan jenis kelamin manusia. Yang membedakan antara laki-laki dan perempuan disamping jenis kelaminnya adalah derajat ketaqwaannya di hadapan Allah. Baik laki-laki ataupun perempuan, sama-sama memiliki potensi yang sama dan sejajar. Disinilah letak Maha Adilnya Allah SWT. Allah tidak membedakan antara satu makhluk dengan makhluk yang lain.

Hal-hal yang dapat dilakukan agar di dalam masyarakat kita tidak ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebagai berikut; Pertama, Mengupayakan gerakan perempuan selalu memberikan pencerahan pada masyarakat di sekitar, tentang budaya patriarkhi yang sebagian besar masih membelenggu. Kedua, Gerakan perempuan setara dengan laki-laki dalam hal karier menjadi keharusan untuk dilakukan. Citra ideal perempuan menurut al-Qur'an adalah perempuan yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasah) sebagaimana Ratu Balqis yang disebutkan dalam QS. al-Mumtahanah ayat 12. Memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadi) dalam QS. al-Nahl : 97, perempuan pengelola peternakan (QS. al-Qashash : 23), memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshy) yang diyakini kebenarannya, perempuan yang berani menyuarakan kebenaran dan melakukan oposisi terhadap segala kejahatan (QS al-Taubah : 71), dan bahkan Allah menyerukan perang kepada suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Nasaruddin Umar, 1999). Ketiga, Menyadarkan bahwa kewajiban untuk mengasuh, menemani dan merawat anak-anak adalah tugas bersama suami dan istri.

Dalam konteks inilah, gerakan advokasi pemikiran diperlukan, dengan cara baca tersendiri yang secara khusus memberikan pemihakan terhadap perempuan agar tidak menjadi korban ketidak-adilan dari struktur sosial yang ikut membentuk bangunan fiqh kita. Cara baca ini diperlukan untuk memastikan bahwa fiqh benar-benar ditegakkan di atas prinsip keadilan yang tidak membedakan eksistensi laki-laki dan perempuan, serta untuk memastikan bahwa perempuan tidak menjadi korban kezaliman dan kekerasan dari struktur sosial.

Sumber :

Meike Agustina, Gerakan perempuan dalam bingkai patriarkhi, Kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Republik Indonesia, 09 November 2010

Badriyah Fayumi, Perjuangan perempuan di masa rasulullah,-----------

Dirasah hadis Edisis 15 : Gerakan perempuan; berawal dari kegelisahan untuk mewujudkan keadilan, Rahima : Pusat studi dan informasi Islam dan hak-hak perempuan

*Penulis: Tinuk Dwi Cahyani, S.H, S.H.I, M.Hum, Kabid Litbang PDNA Kota Malang

“WALLAHUA’LAM BISHSHOWAB”

SEMOGA BERMANFAAT

Albirru Manittaqa

“Kebajikan Adalah Bagi Siapa Yang Bertaqwa Kepada Allah”

“DISKURSUS PERAN WANITA DALAM RANAH PUBLIK” (Wardana Edisi 1)

MUQODDIMAH

Isu gender bagi sebagian orang memang terdengar klasik dan agak membosankan. Akan tetapi isu ini tetap penting mengingat Islam sering di tuding sebagai agama yang mendiskriminasi wanita. Pendapat orang-orang yang menuding Islam sebagai agama yang hanya memihak para pria umumnya di dasari pada wajah Islam secara dzahir tanpa memahami esensi dari syariat Islam itu sendiri. Misalnya mengapa wanita diwajibkan menutupkan kain sampai ke dada (Q.S 24:31) atau ke seluruh tubuhnya (Q.S 33:59) sedangkan pria tidak dikenakan kewajiban itu, wanita shalat di shaf belakang dan dibatasi tabir untuk memisahkan dari jama’ah laki-laki yang berada di shaf depan, dan masih banyak contoh lainnya.

Permasalahan yang lain adalah ketika kita mengamati lingkungan disekitar kita, kita akan menyadari bahwa banyak wanita yang tidak mendapatkan hak-nya atau memang sengaja tidak mau menggunakan hak dan potensi yang ia miliki untuk berbuat sesuatu bagi umat ini dengan alasan “saya adalah seorang wanita”. Sebagai contoh saya masih sering mendengar wanita berkata “Buat apa melanjutkan ke perguruan tinggi, toh saya hanyalah seorang wanita”.

Dilain pihak ada segolongan wanita yang menuntut dan menggunakan hak nya secara berlebihan sehingga melakukan eksploitasi dan mendzalimi diri sendiri. Seperti kasus-kasus yang menimpa para artis Indonesia dan dunia saat ini. Mereka adalah para pemuja kebebasan tanpa batas.

Karena itu Islam sebagai satu-satunya agama yang di ridhoi Allah harus dijadikan sebagai perspektif dalam memahami dan menjadi jalan tengah bagi penyelesaian diskursus gender yang ekstrim ini.

GENDER DAN KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN FEMINIS

Menurut Lips 1 gender adalah cultural expectations for women and men atau harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Pengertian lain dari gender tertuang dalam kepmendagri 2 No.132 disebutkan bahwa gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Mufidah3 mengartikan Gender sebagai peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan oleh konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Sedangkan pengertian kesetaraan gender (gender equlity) menurut Mufidah4 adalah posisi sama antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses, partisipasi, control, dan manfaat dalam aktivitas kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat maupun berbangsa dan Negara.

Pada awal abad ke 18 masyarakat barat masih menganggap bahwa wanita hanyalah warga kelas dua (patriarkhi). Hal ini terbukti dari posisi perempuan yang tertinggal karena kebanyakan perempuan buta huruf, miskin, dan tidak punya keahlian. Satu abad kemudian wanita mulai melibatkan diri dalam aktivitas sosial sehingga muncullah berbagai tokoh dengan pemikirannya di bidang feminisme (gerakan perempuan) dan lahirlah teori-teori feminisme sehingga memperkuat gerakan keperempuan dan perempuan mulai memiliki akses untuk berperan di ranah publik.

Derasnya arus globalisasi budaya mengakibatkan feminisme menyebar dengan cepat ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia. Di Indonesia sendiri feminisme menjadi bahan diskusi favorit di berbagai instansi pendidikan tinggi. Beragam seminar dan diskusi mengenai kesetaraan gender pun di selenggarakan. Bahkan masalah feminisme secara formal dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan, di jadikan objek laporan akhir, tesis dan disertasi untuk mendukung paham ini. Bagaimanapun juga, sebuah paham pasti mempengaruhi cara berfikir dan gaya hidup penganutnya. Begitu juga dengan feminisme, paham ini mulai mempengaruhi tatanan dan perilaku sosial, keagamaan hingga sektor industri.

Fenomena Inul Daratista dan para pengikutnya juga tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu dampak dari feminisme. Selain itu di lingkungan kerja, terutama dalam industri manufaktur kita akan menjumpai bahwa mayoritas pegawainya adalah wanita. Sebagian besar perusahaan memilih wanita dengan alasan wanita lebih telaten, tekun di dalam bekerja dan cenderung mudah diatur. Bahkan para wanita ini bekerja dengan sistem shift. Permasalahannya akan muncul ketika para pekerja wanita sudah menikah dan memiliki anak, hal ini tentu saja menimbulkan beban ganda bagi mereka.

Fenomena lain yang terjadi di masyarakat kita adalah adanya wanita (istri) bekerja sedangkan suami menganggur di rumah, sehingga suami istri saling bertukar peran. Fenomena ini menurut Ibu Dr. Trisakti Handayani, MSi, pemateri dalam diskusi yang kami selenggarakan yang hasilnya sekarang sedang anda baca ini, merupakan dampak dari teori-teori feminisme yang tidak terpikir oleh para pencetus teori dan sudah menjadi kewajiban kita untuk meluruskannya.

GENDER DAN KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM

Kesetaraan gender dalam agama Islam telah ditetapkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan telah disyiarkan oleh Nabi Muhammad SAW lebih dari 14 abad yang silam. Banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama sebagai khalifah di muka bumi ini. Seperti dalam Al Qur’an surah Ali Imran (3): 195, Al Nisa’ (4) : 124, Al Nahl (16):97, Al Mukmin (40):40 dan masih banyak ayat-ayat lain yang bisa dijadikan rujukan.

Islam merupakan rahmat bagi semesta alam, oleh karena itulah salah satu tugas yang diemban oleh Rasulullah adalah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita serta mengubah budaya patriarkhi (cenderung mengutamakan laki-laki lebih dari perempuan).

Nabi Muhammad mengubah wacana dunia arab tentang wanita dan melakukan perombakan tatanan kehidupan sosial sehingga wanita dilibatkan dalam hampir semua lini kehidupan. Sebagai contoh Nabi Muhammad sering menggendong putri beliau (Fatimah Azzahra) secara demonstratif di depan umum. Suatu hal yang dianggap tabu oleh masyarakat Arab pada saat itu. Perlu kita ingat bahwa masyarakat Arab pada masa awal kenabian Nabi Muhammad adalah masyarakat jahiliyah yang memarjinalkan dan menindas kaum wanita. Setiap bayi wanita yang lahir sudah dipastikan terancam nyawanya. Kondisi masyarakat jahiliyah saat itu dikabarkan kepada kita melalui Al Qur’an surah al Nahl 58-59.

“Ketika diberitahukan kepada seseorang diantara mereka perihal kelahiran anak perempuan, wajahnya cemberut menahan sedih. Dia bersembunyi dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang diterimanya, boleh jadi ia akan memeliharanya dengan penuh hina atau menguburnya (hidup-hidup) ke dalam tanah”.

Setelah Rasulullah melakukan perombakan tatanan sosial, wanita diposisikan sebagai makluk mulia bahkan disebutkan sebanyak tiga kali sebagai orang yang harus dihormati sebelum menghormati seorang ayah. Dalam ranah publik, Peran wanita pada masa Rasulullah terlihat dalam kondisi peperangan, ‘Aisyah, Ummu Sulaim, Fatimah Azzahra, dan masih banyak tokoh wanita lain ikut bekerja keras membagikan makanan, minuman dan obat-obatan di tengah hujan panah, tikaman tombak dan sabetan pedang, selain itu para wanita juga aktif menuntut ilmu serta aktif terlibat dalam aktivitas sosial.

DISKURSUS PERAN WANITA DALAM RANAH PUBLIK

Diskursus mengenai peran wanita dalam ranah publik menurut perspektif Islam menjadi perdebatan yang krusial antara pihak yang menentang dan pihak yang menyetujui. Permasalahannya adalah perbedaan tafsir terhadap dua dalil, yang pertama adalah hadis lan yufliha qaum waalau amarahum imra’ah (Tidak akan jaya suatu kaum/bangsa yang menyerahkan urusannya kepada wanita) dan yang kedua adalah Q.S An Nisa:34.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

Pada umumnya ayat ini dijadikan sebagai penghalang bagi wanita untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat. Padahal kata An Nisa dalam ayat ini berarti wanita yang sudah dikenal (istri) karena menggunakan Alif Lam. Sehingga sebenarnya ayat ini berbicara masalah rumah tangga, bahwasanya seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi wanita yang sudah dikenalnya (istri).

Sedangkan pihak yang menggunakan dalil lan yufliha qaum waalau amarahum imra’ah juga harus mempertimbangkan sabda Rasulullan SAW berikut ini.

“Apabila amanat telah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya. Ditanya kepada Beliau, “Bagaimana hal itu dapat sia-sia?” Dijelaskan oleh Rasulullah, “Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya”.

Hadits tesebut secara tersurat menyatakan bahwa penyerahan tugas atau tanggung jawab kepada seseorang bukan dilandasi oleh faktor gender, tetapi yang paling utama adalah faktor kompetensi.

1 Lips, Hilary M., Sex & Gender an:Introduction (London:Mayfield Publishing Company, 1993), hal.4.

2 Kepmendagri No.132 tahun 2003 Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1.

3 Ch, Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang:UIN Malang Press,2008).

4 Ch, Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang:UIN Malang Press,2008).

*Penulis: Yayuk Widianah, Sekbid Dokumentasi dan Informasi PDNA Kota Malang.

“WALLAHUA’LAM BISSHOWAB”

SEMOGA BERMANFAAT

Albirru Manittaqa

“Kebajikan Adalah Bagi Siapa Yang Bertaqwa Kepada Allah”