Oleh : Lailatul Fithriyah A
Ketua PDNA Kota Malang
Dalam sebuah short course tentang akselerasi pencapaian mutu pendidikan, saya merasa sangat kecewa dengan tanggapan seorang nara sumber terhadap pertanyaan dan usulan mengenai kemungkinan terwujudnya sebuah sistem pendidikan murah dan berkualitas. Dengan nada pesimis, sang narasumber yang pakar dan praktisi pendidikan itu berpendapat bahwa sangat tidak rasional di zaman sekarang ini menginginkan pendidikan murah dan berkualitas. Lebih lanjut dia berargumen bahwa di balik tingginya biaya pendidikan, terdapat nilai tawar dan kompetisi pendidikan. Karena jika pendidikan berkualitas, meski dengan biaya mahal orang akan tetap membayarnya.
Pendapat narasumber ini tidak sepenuhnya salah. Hanya yang disesalkan adalah, sebagai pelaku pendidikan, secara tidak langsung ia telah terbawa oleh opini akan menguatnya komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Di mata masyarakat, standar baik buruknya kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh seberapa jauh tranformasi nilai-nilai moral, keilmuan dan agama pada peserta didik, melainkan oleh tinggi rendahnya biaya. Sehingga unggul tidaknya suatu sekolah sangat bergantung kepada besarnya biaya pendidikan. Tidak jarang, sumbangan pendidikan yang terkadang secara salah kaprah dinamakan amal jariyah dipaksakan dan ditentukan pula batas waktu pembayarannya. Akibatnya, jika dalam waktu yang telah ditentukan calon siswa tidak bisa memenuhi biaya tesebut, maka ia akan digeser oleh siswa lain yang lebih mampu secara ekonomis. Karena itu, kesan bahwa sistem pendidikan di negeri ini telah tercampuri oleh kepentingan capital menjadi tak terhindarkan.
Ironisnya, kecenderungan kapitalisasi pendidikan ini diamini pula oleh masyarakat sebagai konsumen pendidikan. Akibat menguatnya tingkat konsumerisme masyarakat, mengirim anak ke sekolah-sekolah mahal dianggap sebagai prestige. Seakan gayung bersambut, tawaran tingginya biaya di sekolah-sekolah dengan dalih peningkatan kualitas, disambut baik dan banyak diminati. Menjamurnya tawaran sistem baru dalam pendidikan seperti full-day school, bilingual school, sekolah alam, dan lainnya seakan hanya kemasan yang dijajakan untuk menarik minat pembeli.
Melihat kenyataan ini, bagaimana dengan pendidikan kaum miskin yang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja sangat sulit? Benarkah pendidikan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat ekonomi atas? Dari sini jelaslah bahwa kesenjangan ekonomi sangatlah berpengaruh terhadap aksesibilitas pendidikan. Dalam konteks ini, menarik untuk menyertakan zakat sebagai sarana penanggulangan kemiskinan dalam hal pendidikan.
Dalam Islam, semua ibadah tidak hanya bernilai ritual, melainkan tersirat pula dimensi sosial. Disyari’atkannya zakat, di samping sebagai sarana pembersihan dan penyucian jiwa dan harta (QS. 9: 61), hakekat utama zakat adalah untuk mengantisipasi terjadinya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat sehingga kesejahteraan hidup tidak hanya menjadi previlese orang-orang kaya (QS. 59: 7). Bagi yang diberi kelebihan harta hendaklah menyadari bahwa di dalam harta mereka terdapat pula hak orang-orang miskin, sehingga mereka tidak enggan untuk berbagi.
Jika ditarik pada konteks pendidikan, kesenjangan ekonomi dan sosial pada mayarakat kelas atas dan bawah merupakan salah satu faktor penentu baik buruknya kualitas pendidikan. Terlebih jika yang menjadi ukuran kualitas adalah terpenuhinya segala sarana dan prasarana yang memadai. Tersedianya laboratorium, alat peraga, sarana dan media penunjang pendidikan yang semua itu tidak menjadi kendala bagi kalangan menengah untuk memperolehnya. Sementara bagi masyarakat kelas rendah, sangat sulit bagi mereka untuk memenuhi mengingat untuk biaya operasional sehari-hari masih sangat jauh dari cukup. Dalam hal inilah distribusi zakat pada aspek pendidikan menjadi penting.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana zakat yang masih dikelola secara tradisional, belakangan muncul ide kreatif dari para pelaku pendidikan untuk menghimpun dan mengelola penerimaan zakat para siswa di sekolah masing-masing, terutama sekolah-sekolah high class, dengan cara mewajibkan peserta didik untuk menyerahkan zakat fitrah (sebagai zakat yang wajib dikeluarkan tiap jiwa) kepada pihak sekolah. Dari sini pihak sekolah akan menyalurkan zakat kepada mustahiq yang salah satu di antaranya adalah orang yang berjuang fii sabilillah di bidang pendidikan, berdasarkan hadits Nabi “Barang siapa yang keluar (rumah) untuk berangkat menuntut ilmu, maka dia berada dalam sabilillah”.
Penyaluran ini bisa melalui aksi penyertaan siswa dalam kunjungan ke sekolah-sekolah yang belum mapan, sehingga anak dapat menyaksikan sendiri keadaan sekolah-sekolah tersebut. Kegiatan semacam ini setidaknya bisa menjadi pelajaran berharga bagi mereka, baik oleh muzakki (pemberi zakat) maupun mustahiq. Bagi muzakki, hal ini berpotensi untuk mengembangkan afeksi mereka di bidang kepekaan sosial. Manfaat kegiatan ini akan dirasakan juga oleh mustahiq. Jika mustahiq adalah individu, maka santunan itu akan sangat berarti bagi kelanjutan pendidikan mereka. Terlebih jika zakat itu didistribusikan secara kelembagaan, maka secara otomatis dapat mensejahterakan sekolah dengan memenuhi sarana dan prasarana pendidikan. Dengan ini, pendidikan berkualitas tidak hanya dinikmati kalangan ekonomi mapan, kawula alitpun turut merasakannya.